BMKG Peringatkan Kekeringan Saat ini Baru Bagian Pendahuluan

BMKG Peringatkan Kekeringan Saat ini Baru Bagian Pendahuluan

Meski  segera turun merata dalam dalam mayoritas wilayah Indonesia juga meredakan kekeringan cukup parah tahun ini, Badan Meteorologi, Klimatollogi, lalu Geofisika () memperingatkan ini semua baru tahap awal.

“Ancaman kekeringan kali ini ibaratnya baru bagian pendahuluan,” cetus Kepala BMKG Dwikorita Karnawati, dalam acara Forum Merdeka Barat 9, yang digunakan itu disiarkan secara daring, Selasa (17/10).

Kenapa demikian?

Dwikorita memaparkan kekeringan tahun ini setara dengan yang dimaksud terjadi pada 2019. Kedua periode kekeringan ini sama-sama dipicu oleh fenomena iklim yang digunakan dimaksud mengeringkan curah hujan, El Nino dan Indoan Ocean Dipole (IOD), yang dimaksud mana terjadi bersamaan atau superposisi.

Khusus El Nino, ia memprediksi fenomena yang digunakan digunakan dimulai pada Juli tahun initersebut akan berakhir pada Februari hingga Maret 2024.

“Levelnya adalah El Nino moderat. Ini setara dengan anomali yang terjadi di tempat area tahun 2019,” kata dia.

Berdasarkan data terbaru, El Nino sudah masuk kondisi moderat (Southern Oscillation Index/SOI -10,3, Indeks NINO 3.4 +1,42). Senada, IOD dalam kondisi positif (Dipole Mode Index/DMI +1,85).

Walau selevel dengan yang tersebut dimaksud terjadi pada 2019, Dwikorita mengatakan El Nino saat ini lebih banyak banyak terkendali.

Terlebih, dalam hitungan pekan hujan diprediksi mengguyur mayoritas wilayah yang mana selama ini paling terdampak kekeringan, yakni bagian selatan khatulistiwa, termasuk Pulau Jawa.

“Kali ini secara klimatologi serupa tapi secara dampak lebih lanjut lanjut terkendali seperti itu, juga [dampak El Nino] masih berlangsung kurang lebihnya hingga akhir Oktober.”

“Dan insyaallah untuk wilayah Indonesia bagian khatulistiwa ke selatan November sudah mulai hujan secara berangsur-angsur. Tetapi wilayah Indonesia bagian khatulistiwa ke utara itu sudah mulai turun hujan di dalam area beberapa wilayah,” imbuh dia.

Masalahnya, Dwikorita mengatakan berbagai data lembaga meteorologi menunjukkan tren kenaikan suhu global.

“Suhu ini sudah meningkat naik sampai hari ini sudah mencapai hampir 1,2 derajat Celsius juga peningkatannya semakin curam setelah tahun 1970,” ucapnya.

Berdasarkan Kesepakatan Paris (Paris Agreement), negara-negara wajib membatasi peningkatan panas 1,5 derajat Celsius. Menurut lembaga iklim Uni Eropa Copernicus, batas ini “mungkin terasa masih sangat dari kenyataan, tapi ini kemungkinan lebih banyak banyak dekat dari yang digunakan mana Anda pikir.”

Para pakar memprediksi batas suhu ini terlampaui antara tahun 2030 hingga awal 2050. Rekor tertinggi sempat terjadi pada Desember 2021 dengan suhu global pada posisi 1,21 derajat C.

“Jika tren pemanasan selama 30 tahun terus menanjak lalu berlanjut, pemanasan global sanggup mencapai 1,5 derajat C pada November 2033.”

Senada, BMKG mengungkap kesempatan kekeringan “masih akan berlanjut sebab dari perhitungan kami rata-rata 10 tahun itu kenaikan [suhu]-nya 0,3 derajat Celsius.”

Dwikorita bahkan mengungkap ada percepatan kenaikan suhu global berdasarkan pengamatan lembaga-lembaga pada 193 negara. Jika ini terjadi, bencana makin banyak terjadi, termasuk kekeringan.

“Namun menurut data global dan juga juga beberapa pembahasan pakar-pakar dunia lalu juga Indonesia, kali ini dikhawatirkan tak perlu 10 tahun untuk naik 0,3 [derajat C], sanggup lebih lanjut banyak cepat,” ungkap dia.

“Sehingga dalam area Indonesia kami memprediksi di area area akhir abad 21 kenaikannya bisa jadi jadi mencapai 3,5 derajat Celcius. Artinya, 3 kali dari saat ini.”

“Bisa dibayangkan bagaimana frekuensi kejadian bencana akan melompat berapa kali durasi akan tambahan besar panjang lalu intesitasnya tambahan banyak kuat lalu dampak terhadap tentang air,” tuturnya.

Bencana kekeringan ini calon tak pandang bulu, baik negara berkembang atau maju. Memang, kata Dwikorita, proyeksi-proyeksi iklim tak mendeteksi titik kekeringan parah itu di dalam tempat Indonesia.

“Di Indonesia alhamdulillah tiada ada terdeteksi, tapi tiada boleh happy dulu. Karena ini data global, secara lokal pasti ada [hotspot kekeringan],” ia mewanti-wanti.

Jika itu tak diantisipasi, bencana lanjutannya adalah kekurangan pangan.

“Diproyeksikan pada tempat tahun 2050 atau 2045 di tempat tempat kala Indonesia mengalami masa emas dengan data global tadi, diproyesikan dengan asumsi kita gagal memitigasi perubahan iklim maka dari sumber pangan dunia akan terdampak.”

“Paling rentan. Jadi pangan akan benar-benar [terdampak], bukan belaka sekali air, lanjutnya ke pangan,” tutup Dwikorita.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top